Jakarta, 1 Mei 2020. Selama sepekan 20-26 April lalu, Komunitas Zero Waste Indonesia (ZWID) dengan kampanye #TukarBaju-nya menyuarakan isu kemanusiaan melalui Fashion Revolution Week (FRW). Sebuah gerakan global yang diinisiasi oleh Fashion Revolution setiap tahunnya dibulan April memperingati tragedi runtuhnya Rana Plaza Bangladesh, 2013 silam. Pabrik dari berbagai brand fesyen yang memakan 1000 lebih korban jiwa dan 2000 lebih lainnya luka-luka. Masyarakat diajak bersama-sama mengunggah foto helai pakaian ataupun OOTD (Outfit of The Day) dengan poster bertuliskan “Siapa Yang Membuat Pakaianku?” (Who Made My Clothes?) ke akun Instagram. Lalu menuliskan pesan yang ditujukan kepada brand fesyen yang dipilih untuk mencari tahu perlakuan mereka terhadap para pekerja garmennya di kala pandemi ini. FRW juga dijadikan pengantar untuk membawa isu kemanusiaan untuk Hari Buruh yang jatuh tanggal 1 Mei 2020 ini.
“Sejak pandemi ini, kami banyak mendapatkan informasi beberapa brand fesyen global, tidak membayarkan upah kepada para pekerjanya padahal produknya telah selesai dikerjakan. Pemutusan hubungan kerjapun ada yang terjadi. Lalu bagaimana nasib para pekerja garmen itu, mereka kan harus menghidupi keluarganya?,” tanya Maurilla Sophianti Imron, pendiri Komunitas Zero Waste Indonesia. ZWID melalui FRW juga mengajak masyarakat untuk bersama mengirim surel kepada brand fesyen favorit mereka menanyakan Siapa Yang Membuat Pakaianku? Kompensasi apa yang pekerja garmen ini dapatkan? Adakah suatu kebijakan khusus perusahaan menyikapi pandemi ini? Sebanyak 146 brand pakaian internasional dan lokal terdaftar yang dapat dikirimi surel secara langsung, versi bahasa Inggrisnya dapat diakses melalui fashionrevolution.org.
Masyarakat menyambut baik Fashion Revolution Week, antusiasme yang mereka bagikan dalam pesan unggahan foto Instagram kepada brand yang mereka tunjukanpun sarat makna. Salah satu konten yang diunggah mengenai runtuhnya Rana Plaza yang menjadi latar belakang dan titik balik dalam industri fesyen dan yang melahirkan revolusi fesyen ini pun mendapatkan lebih dari 15.000 jangkauan di kanal media sosial Instagram. “Senang rasanya dapat menciptakan sebuah kesadaran baru. Yang seperti ini jarang diperbincangkan di Indonesia. Sudah saatnya kita tahu dan peduli dari mana pakaian kita berasal, karena kemungkinan nyawa dapat menjadi bayaranya. Beberapa brand juga langsung menjawab pertanyaan yang diajukan dengan transparansi, respon itulah yang kami harapkan pada praktik fesyen yang beretika (ethical fashion),” tutur Amanda Zahra Marsono, Head of Public Relations and Marketing yang sekaligus Project Manager #TukarBaju. Tragedi Rana Plaza adalah bukti keamanan lingkungan pekerjaan dan kesejahteraan pekerja garmen dalam industri fesyen yang tidak diperhatikan. Dalam praktik bisnis sudah lumrah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menekan biaya operasional sekecil-kecilnya, seperti operasional sewa gedung. Namun adilkah hal ini jika harus berdampak hilangnya hidup manusia?
Hasil perbincangan pada sesi Instagram Live yang sekaligus menjadi penutup FRW akhir pekan lalu membuktikan bahwa praktik dalam bisnis fesyen lokal di kala pandemi yang tetap mengedepankan kesejahteraan pekerja adalah wajib dan sangat mungkin untuk dilakukan. Pendiri brand fesyen lokal KaIND, Melie Indarto berbagi kisah, “Walau penjualan pakaian berbahan sutera kami sejak Corona turun hingga 80%, kami tetap semangat untuk memutar otak dan mencari strategi pemasaran agar bagaimana kami bisa bertahan. Kami harus tetap menggaji 25 pekerja dan 250 petani ulat sutera kami. Agar mereka tetap mendapatkan pemasukan, mereka sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri. Beruntung memang sebelumnya memang sudah bekerja sama dengan Zero Waste Indonesia dalam menyediakan drop box untuk donasi kain perca pada setiap kesempatan #TukarBaju Pop-Up mereka. Kami terbantu sekali dengan bahan baku donasi yang sudah terkumpul. Masker kain reusable dan filter serat suteralah yang menjadi pilihan utama diproduksi. Sudah 3000 buah lebih masker terjual! Seluruh hasil penjualan langsung untuk upah para pekerja, penenun, pembatik, dan petani ulat sutera. Pelanggan yang beli produk kami saat ini benar-benar menjadi penyambung rezeki. Kami tidak mengambil profit sama sekali. ”
Terkait dengan Hari Buruh, FRW menyoroti transparansi dan pertanggungjawaban para pelaku bisnis dalam industri fesyen terhadap perlakuan pada para pekerjanya. Sudah disejahterakankah? Implementasi dari sisi konsumen adalah menjadi konsumen yang bijak dalam setiap transaksi pembelian pakaian yang dilakukan. “Pada setiap Rupiah yang kita bayarkan untuk sebuah pakaian, tidak hanya untuk membayar pakaiannya saja tetapi juga membayarkan para pekerja yang terlibat di dalam produksinya. Terutama saat situasi pandemi, setiap Rupiah yang dikeluarkan itu berarti bagi bisnis fesyen lokal untuk keberlangsungan pekerjanya. Pastikan Rupiah kita berguna untuk mensejahterakan sesama. Anggaplah sekaligus bersedekah dalam bulan puasa,” tutup Amanda.
TENTANG ZERO WASTE INDONESIA
Zero Waste Indonesia (ZWID) adalah sebuah komunitas dan advokasi berbasis online pertama dan terbesar di Indonesia yang didirikan pada tahun 2018 dengan tujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya hidup zero waste (nol sampah). Zero waste lifestyle (gaya hidup nol sampah) adalah sebuah gaya hidup untuk meminimalisasi produksi sampah yang dihasilkan masing-masing individu yang akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan. Jumlah pengikut setia ZWID telah mencapai lebih dari 93.300 lebih pada akun sosial media, Instagram @zerowaste.id_official dan sebanyak 14.400 pada akun @tukarbaju_. Informasi lebih lengkap tentang gaya hidup zero waste juga bisa di akses pada website www.zerowaste.id dengan berbagai fitur seperti blog, tips, peta minim sampah, juga sebagai toko online yang menyediakan benda-benda esensial penunjang gaya hidup nol sampah.