Perputaran tren mode dunia silih berganti dari waktu ke waktu secara dinamis. Mode menjadi industri besar yang digadang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Brazil, Bangladesh, India, Turki, Tiongkok, bersama dengan Indonesia menunjukkan keikutsertaannya mengambil benefit dari perputaran mode. Bahkan dengan dukungan perkembangan yang pesat, Indonesia mampu melahirkan tren mode lokal dan diminati pangsa internasional, yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Sebagai contoh nilai ekspor di industri fashion Indonesia mencapai lebih dari 58.5 Triliun rupiah per tahun 2016 (Global Business Guide Indonesia, 2016). Perkembangan bisnis fashion di Indonesia juga didukung oleh menjamurnya bisnis kecil dan menengah dan diikuti oleh daya saing perdagangan yang tinggi.
Di samping pertumbuhan ekonomi, ada hal yang seringkali luput dalam perhatian kita mengenai bisnis fesyen di dunia dan khususnya Indonesia. Kita mengetahui bahwa koleksi fesyen diperbaharui setiap musim (season). Sediakala, hanya ada dua musim dalam setahun. Kini, dunia mode memiliki 52 micro season dalam setahun. Itu artinya setiap minggu akan terbit model busana terbaru yang siap diproduksi dalam kuantitas besar. Hal ini memiliki pengaruh yang cukup berarti bagi aspek sosial dan lingkungan karena Industri fashion adalah industri dengan energi intensif dan juga sarat akan eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Produsen fast fashion memusatkan perhatian penuh terhadap produksi masal dalam jumlah besar tanpa memperhatikan etika hak cipta desainer, dengan bayaran pekerja yang sangat murah tanpa memperhatikan kualiatas hidup dan kesehatan pekerjanya. Akibatnya tidak hanya menghasilkan produk dengan kualitas rendah, fast fashion juga rentan terhadap plagiarisme.
Pada praktiknya, dalam melakukan perencanaan bisnis, pelaku usaha mode kurang memperhatikan aspek lingkungan. Berbagai studi menunjukkan bahwa industri fesyen adalah penyumbang polusi terbesar ke dua di dunia. Bahkan jurnalis internasional halaman Ecowatch menyoroti Sungai Citarum di Jawa Barat sebagai sungai paling tercemar di dunia akibat Industri tekstil yang mendukung bisnis fesyen di dunia. Hal serupa kemudian menjadi keprihatinan Dunia seperti Eropa dan Amerika. Setelah tragedi mengenaskan di Rana Plaza, Bangladesh tahun 2013, mereka kemudian tersadar akan beban yang harus ditanggung oleh negara berkembang untuk memenuhi what so called the latest trend. Dari peristiwa itulah gerakan sustainable fashion mulai menggema.
Sustainable fashion pada dasarnya didasarkan pada nilai moralitas bahwa fashion semestinya menjadi suatu industri yang memiliki “value” atau nilai selain uang. Fashion Business bergulir dengan profit yang amat besar, melibatkan jutaan buruh namun belum mampu membangun ekonomi masyarakat terutama negara berkembang. Industri Fashion selama ini sesungguhnya melupakan etika lingkungan. Mulai dari kultur tanaman serat yang tidak ramah lingkungan, sampai masalah penanganan limbah yang tidak dapat ditangani dengan baik dan berakhir di tempat pembuangan akhir atau bahkan sungai. Konsep fashion dengan value bertujuan untuk membangun kesadaran baik konsumen maupun produsen untuk menjamin kelestarian lingkungan dan kesejahteraan sosial.
Gerakan sustainable fashion menggema semakin nyaring belakangan bersamaan dengan promosi Sustainable Development Goals (SDG) oleh Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Dalam SDG, terdapat tujuh belas aspek yang berprinsip dasar “memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengganggu hak generasi masa depan untuk hidup dengan berkualitas.” Ruang publik kini beramai ramai menggunakan kaca mata SDG dalam berbagai aspek. Katakanlah dalam ranah fesyen, forum-forum internasional seperti Copenhagen Fashion Summit, Sustainable Fashion Forum, dan getredress secara aktif melakukan kampanye untuk menyajikan fakta kelam dalam industri mode dengan tujuan mengubah pola pikir produsen dan konsumen mengenai industri tersebut.
Praktik sustainable fashion diharapkan dapat memenuhi beberapa point dalam sustainable development diantaranya adalah mengentaskan kemiskinan (1), memperbaiki kualitas kesehatan (3), kesetaraan gender (5), ketersediaan air bersih (6), pekerjaan layak dan perkembangan ekonomi (8), meningkatkan kesetaraan (10), kota dan komunitas yang berkelanjutan (11), konsumsi yang bertanggung jawab (12), mengurangi dampak perubahan iklim (13), menjamin kehidupan biota air dan darat (14,15), dan kerjasama untuk mencapai tujuan (17).
Mengacu kepada target SDG, pegiat pergerakan Sustainable fashion tidak hanya menyasar kepada label fesyen dunia besar seperti Hnm, Zara, Top Shop dan lain lain. Aktivis Sustainable Fashion juga secara masif menyasar konsumer agar memiliki kesadaran untuk membeli produk yang berkualitas dan tahan lama. Mereka berpendapat bahwa produsen akan mengubah pola bisninya menjadi lebih sustainable bila terdapat permintaan produk yang ramah lingkungan. Kampanye ini juga mengarahkan agar konsumen lebih memilih produk lokal yang memproduksi produk dalam jumlah terbatas, dan memiliki jejak karbon lebih kecil daripada produk buatan luar negeri.
Kami percaya bahwa industri fashion Indonesia khususnya, sudah sepatutnya meningkatkan perkembangan ekonomi tanpa berkompromi dengan kesejahteraan manusia dan juga kelestarian lingkungan. Karena, perkembangan tanpa ada keseimbangan dari aspek “people, planet, profit” hanyalah kemajuan semu yang menciptakan kerugian tak terhingga di kemudian hari.