Nila Patty, atau yang biasa dipanggil Nila ini sudah 3 tahun terakhir sibuk terlibat dan memberdayakan masyarakat sekitar mengenai gaya hidup zero waste, utamanya di tempat Nila berada saat ini yaitu Belanda. Gadis yang senang disebut sebagai ‘Nona No Plastic’ ini, adalah salah satu zero waste expert Indonesia yang paling aktif menyampaikan aspirasinya di luar negeri dan dari luar negeri.
Gagasan-gagasan-nya telah banyak digunakan salah satunya di Nijmegen, Belanda tempat dia tinggal. Tidak hanya itu, pada tahun 2017, Nila juga memprakarsai sebuah projek di salah satu pulau di Maluku, Pulau Saparua. Disana Nila dan timnya mendirikan unit daur ulang plastik skala kecil sekaligus mengedukasi penduduk sekitar mengenai plastik. Tempat yang dipilih tidak hanya sebuah tempat, tetapi tempat yang memang sangat membutuhkannya.
Saat ini Nila sedang sibuk bekerja full time di sebuah startup berbasis teknologi berkelanjutan. Di sela-sela kesibukannya, Nila adalah pembicara, aktivis, dan advokator yang sering mengisi acara lingkungan di Belanda. ZWID sangat beruntung bisa berkolaborasi dan menjalankan misi secara paralel dengan Nila di Indonesia.
Bagaimana awal dari gaya hidup zero waste yang Nila jalani?
Awalnya zero waste adalah sebagai cara untuk mengurangi biaya hidup, karena sebagai mahasiswa saya sebisa mungkin menghemat.
Saat saya liburan ke indonesia, mama saya membuang sampah dari jendela mobil. Saya geram dan berpikir kenapa kita sebagai konsumen tapi kita tidak memiliki kebebasan untuk memilih? Kita selalu disuapi dengan barang-barang sekali pakai tanpa kita sadar. Sistem yang ada membuat kita mudah dipengaruhi untuk berlaku konsumtif.
Mengetahui setiap hari kita sebagai individu menghasilkan setidaknya 1 kilo plastik, sebagai individu saya bertanya kepada saya sendiri, apa yang kita bisa lakukan karena merasa powerless.
Dari situ saya mencoba untuk memilah sampah dan recycle. Kalau pun sampah ini dibuang, saya harus tau dibuang kemana dan dengan cara yang seperti apa. Namun setelah tahu bahwa tidak semua sampah didaur ulang, saya merasa harus melakukan hal lain.
Disana saya browsing di internet dan menemukan gaya hidup Zero Waste dari Bea Johnson dan Lauren Singer.
Apa yang bisa dilakukan dan bagaimana cerita awalnya?
Dengan latar belakang tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil langkah sendiri. Saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak membeli barang yang dikemas dengan plastik sekali pakai. Di 2 bulan pertama, stres rasanya. Saya masih ingat, 1 Januari 2016, saya bilang ke mama, kata mama ‘nanti kamu mati kelaparan’. Cerita ke orang-orang sekitar dan mendapat tanggapan yang kurang lebih sama. Masalahnya adalah: Semua makanan dan bahan2 yang kita tahu dikemas dengan plastik, bahkan baju yang kita pakai pun mengandung plastik.
Tantangan apa saja yang kamu temui?
Mental dan lingkungan. Pada waktu itu, orang masih belum terbiasa dengan idealisme seperti ini. Pertama kali beli roti pakai sarung bantal, penjualnya melongo. Akhirnya saya harus menjelaskan apa yang saya lakukan. Susahnya adalah well, people themselves. They tend to make it difficult because it is different than the norm. So it falls within their different mentality.
Selain itu adalah limited resources. Waktu pertama kali mengikuti gaya hidup ini, tidak ada toko bulk/ zero waste di Belanda.
What keeps you going?
Pengalaman mengajarkan bahwa dengan kegigihan, pasti ada kesuksesan. Ceritanya tiap minggu, saya beli roti ke tempat yang sama sambil bawa sarung roti (sarung bantal yang saya jahit sehingga bisa di tarik tutup diatasnya). Setelah beberapa minggu sang penjual roti menerima tas roti saya, saya menemukan si penjual roti ternyata mulai berjualan tas kain sebagai alternatif plastik! This is very rewarding. Kalau tukang roti aja bisa, yang lain juga pasti bisa. Jadi semangat! Terus kalau ada acara pesta dengan teman, bawa gelas sendiri yang bisa dipakai ulang. Disana orang-orang akan memperhatikan dan akhirnya nanya “kamu ngapain bawa gelas?”. Disitulah waktu untuk saya menjelaskan tentang zero waste ke teman-teman dan orang-orang lain.
Apa dorongan paling kuat untuk bersuara mengenai zero waste dan melakukannya?
Pertanyaan yang saya tanyakan ke diri sendiri setelah bapak saya meninggal di usia muda adalah, “nanti setelah meninggal, mau diingat jadi apa?. Disitu saya ingin paling tidak diingat sebagai seseorang yang berusaha memberikan terbaik pada bumi.”
Apa pesan-pesan kamu ke para pembaca untuk mulai melakukan gaya hidup ini?
Practice what you preach. Kurangi yang bisa kita kontrol, karena zero waste tidak akan pernah zero. Tapi tetap berusaha untuk zero waste ketika kamu bisa kontrol dari mana datangnya suatu barang atau bagaimana cara kamu mendapatkan barang yang kamu inginkan
Beberapa hari yang lalu @nonanoplastic turut serta menggalakan kampanya @slowfashionseason, apa sih itu?
SlowFashionSeason adalah projek yang saya ikuti untuk tidak membeli outfit baru selama 1 musim (perkiraannya 3 bulan). Jadi kampanye ini dimulai pada 21 Juni – 21 September 2019. Tentunya kamu bisa meneruskan kampanye ini sampai 1 tahun kedepan bahkan selamanya.
Bagaimana kita bisa berkontribusi?
Caranya:
-Tidak membeli pakaian ataupun aksesoris baru selama 3 bulan mendatang
-Kalau mau dapat baju baru, kamu bisa tukar baju kamu di acara seperti #tukarbaju, beli baju second-hand di platform seperti @sedarisadari. Yang jelas kamu tidak membeli pakaian baru apapun
-Cek lemari pakaian kamu, pasti ada 1-2 baju yang tidak pernah kamu pakai. Ini merupakan kesempatan kamu untuk menggunakan baju ini. Karena 80% baju yang dimiliki kebanyakan orang biasanya tidak terpakai.
-Yang paling saya suka, tanya mama atau papa kamu kalau mereka masih menyimpan baju ketika mereka masih muda. Biasanya baju2 vintage atau jaman dulu kualitasnya lebih bagus dari baju fast fashion. Selain itu, keren kan, kalau ternyata baju dari mama kamu pernah dipakai mama kamu untuk kencan bersama papa kamu.
Kenapa kamu berkampanye disini, dimana urgensi-nya?
Industri mode itu menggunakan banyak sekali air dalam produksinya. Selain itu, saat saya penelitian di pulau Saparua, selain sampah plastik, sampah tekstil adalah jenis sampah yang paling banyak ditemukan di pesisir pantai. Dengan ini, emisi yang dihasilkan dari produksi tekstil selain sangat besar pada proses upstream (awal), di akhir lifecycle-nya tekstil juga berkontribusi pada polusi lingkungan. Microfiber dari microplastik juga berbahaya untuk lingkungan dan marine creature.
“The fashion industry is responsible for enormous amounts of water consumption (32 million Olympic size swimming pools per year) and CO2 emissions (8% of global greenhouse emissions – and growing fast). If 10,000 people participate, we will save the equivalent of up to 300 million liters of water and 1 million kilograms of CO2 emissions.* Also, textile dyeing is the second largest polluter of clean water globally, only after agriculture. Then there is the enormous waste creation (148 million tons by 2030) and land use (115 million hectares by 2030), and we haven’t even started on labour conditions yet…Enough numbers, time for action. Time for Slow Fashion Season!”
Source: Collaction.org
Yuk bersama bergabung di kampanye slowfashionseason. Tag kami @zerowaste.id_official dan @nonanoplastic di perjalanan kamu. Let’s get through this challenge!!!!
Check out Nila’s blog and instagram .