“Mumpung lagi diskon.”
“Wah model yang ini belum punya nih.”
“Ini gaya si artis X dan influencer Y loh, harus punya juga!”
“Duh, kalau ga dibeli sekarang nanti pas kesini lagi udah ga ada. Gak apa deh utang di kartu kredit juga!”
Pernahkah berbelanja pakaian yang sesungguhnya kita tidak butuhkan karena terbersit pemikiran-pemikiran seperti itu?
Fesyen Cepat (Fast Fashion) adalah praktik produksi pakaian yang berfokus pada kecepatan produksi agar dapat selalu mengikuti tren fesyen terbaru. Diproduksi secara massal dalam jumlah yang banyak agar dapat menekan biaya produksi yang serendah-rendahnya dan mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya. Isu yang lekat dalam praktik fesyen cepat adalah isu kemanusiaan dan isu lingkungan. Dampaknya bagi konsumen adalah tanpa sadar mengikuti perkembangan tren fesyen yang sangat cepat bergulir sehingga selalu dihadapkan pada konsumerisme dan tentunya berujung pada kepemilikan pakaian diluar batas yang dibutuhkan dan berpotensi jadi sampah tekstil yang merusak alam.
Pada fesyen cepat dibutuhkan 15 hari saja mulai dari ide hingga launching di pasaran. Pakaian diciptakan sebagai kebutuhan primer fungsinya untuk melindungi tubuh manusia. Maka dari itu koleksi desainer terkemuka biasanya hanya muncul 2-4x dalam setahun sesuai musim, karena pakaian baru dibutuhkan ketika musim berganti, tidak mungkin memakai pakaian musim panas pada musim dingin bukan? Seiring berjalannya waktu, perubahan tren, gaya hidup, dan tentunya kondisi bisnis global berdampak pada fungsi pakaian ini. Pakaian menjadi komoditi bisnis, tren mode silih berganti maka perlahan beralih fungsi menjadi benda yang bersifat pendukung karena pada hakikatnya kepemilikan pakaian selalu dalam jumlah batas yang dibutuhkan, konsumsi yang berlebih ini dipengaruhi oleh tren fesyen yang bergulir cepat. Koleksi baru yang keluar 4x/tahun bisa menjadi 52x/tahun.
Isu Lingkungan
Dalam produksi pakaian, jenis bahan dan pewarna tekstil merupakan hal mendasar namun berdampak besar. Konsep produksi massal mengharuskan adanya bahan baku yang tersedia terus menerus karena dibutuhkan dalam jumlah besar sekaligus, konsep produksi cepat mengharuskan segala sistem dan proses dibaliknya haruslah serba instan.
Bahan pakaian alami seperti katun, linen misalnya membutuhkan waktu produksi yang panjang karena harus melalui proses penanaman benih, memanennya untuk dipintal jadi benang. Tahukah kalau 60% bahan pakaian yang ada di dunia ini berbahan dasar poliester? Nilon dan spandeks juga serupa seperti poliester yang berbahan dasar plastik. Poliester yang bahan bakunya adalah minyak yang diekstraksi menjadi plastik lebih mudah dan murah untuk dibuat. Maka ya, poliester = plastik. Pakaian yang kita miliki kebanyakan adalah plastik. Pakaian yang berbahan dasar plastik melepaskan partikel mikroplastik ketika dicuci yang mencemari ekosistem laut, ikan contohnya yang memakan plastik, lalu ikan kembali dijadikan bahan makanan manusia yang tentunya berbahaya bagi kesehatan.
Kalau begitu bahan pakaian katun adalah bisa dibilang yang paling ramah lingkungan? Tergantung dari mana melihatnya, walau bahan katun dapat terurai alam namun dalam produksi massal yang membutuhkan bahan baku dalam jumlah besar menyebabkan proses produksi perkebunan kapas yang juga dalam jumlah besar, pohon kapas membutuhkan banyak sekali air dalam proses produksinya karena karakter tumbuhannya yang selalu “haus” untuk selalu disiram. Membuat satu kaos katun dibutuhkan 2700 liter air dan emisi yang dihasilkan dalam produksinya sama dengan emisi berkendara mobil jarak Bogor ke Bekasi. Maka bayangkan bagaimana dengan kuantiti yang dibutuhkan dalam produksi massal?
Proses pewarnaan alami dengan hasil limbah yang tentunya tidak merusak alam karena berbahan natural dari tumbuh-tumbuhan mengandalkan cuaca, alam yang mengontrol produksinya tidak sejalan dengan fesyen cepat karena proses pewarnaan bisa berbulan-bulan. Maka proses pewarnaan sintetik yg prosesnya lebih cepat berupa bahan kimia menjadi pilihan dimana limbah air buangannya mencemari sungai dan laut.
Isu Kemanusiaan (Kesejahteraan Pekerja)
Kejar target untuk memenuhi jadwal produksi agar dapat segera pasarkan membuat industri fesyen cepat seringkali mempekerjakan para pekerjanya dengan jam kerja yang panjang dan tidak membayarkan upah sesuai standar. Sebanyak 90% pakaian yang ada di dunia diproduksi oleh negara dengan pendapatan nasional menengah kebawah. Berbagai aspek terjadi dalam praktik fesyen cepat, masifnya eksploitasi manusia (wanita dan anak-anak), upah yang rendah, jam kerja yang panjang, kasus kekerasan, pelecehan seksual, jaminan sosial yang tidak terpenuhi telah membuat industri fesyen menjadi salah satu tempat perbudakan terbesar.
Runtuhnya Rana Plaza gedung pabrik dari puluhan brand fesyen cepat dunia yang menewaskan 1100 pekerjanya, melahirkan Revolusi Fesyen sebuah usaha kolektif untuk menyatukan berbagai pihak baik dari sisi konsumen dan produsen agar bagaimana pakaian dapat bersumber, diproduksi, dan dikonsumsi ke arah yang lebih baik. Kejadian Rana Plaza membuktikan bahwa industri fesyen cepat berfokus untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya sehingga melupakan aspek keselamatan lingkungan kerja. Gedung dengan biaya sewa yang murah karena konstruksi yang tidak sesuai standar ini pun akhirnya runtuh. Hal ini dilakukan para brand demi penekanan biaya operasional yang rendah sehingga keuntungan yang didapat bisa maksimal.
Banyak Peminat
Biaya produksinya yang rendah tentunya menjadikan fesyen cepat diminati berbagai kalangan karena dapat dibeli dengan harga terjangkau. Brand-brand fesyen cepat ini juga handal dalam strategi pemasaran terbukti dengan luasnya distribusi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Berbagai brand fast fashion terkemuka terdapat di banyak pusat perbelanjaan kota-kota besar. Model pakaian yang disuguhkan yang selalu up to date sesuai dengan perkembangan zaman selalu menjadikan konsumen brand fesyen cepat merasa ketinggalan zaman jika tidak memiliki item terbaru yang baru saja mereka keluarkan.
Praktik Fesyen Cepat di Indonesia
Made in Indonesia, label pada baju keluaran fesyen cepat yang telah beredar global ini kerap kita temukan. Karena memang potongan baju tersebut dibuat di Indonesia. Mudah untuk mendapatkan pekerja tekstil di Indonesia, biayanya pun lebih murah, menjadikan Indonesia sebagai negara yang pilih untuk para brand fesyen cepat ini dalam proses produksinya.
Brand fesyen cepat di Indonesia tidak berada sepenuhnya dalam level “terjangkau” seperti yang berada di negara-negara maju lainnya. Hal ini tentunya berkaitan dengan daya beli masyarakat Indonesia sehingga harga brand fesyen cepat masih tergolong kategori diatas rata-rata, namun tetap digandrungi banyak pihak dan tentunya lebih murah dibandingkan jika harus membeli pakaian keluaran desainer terkemuka.
Hal ini juga erat dengan kondisi negara Indonesia sebagai penghasil bahan baku dan penyedia pekerja tekstil yang bisa didapat dengan mudah. Sehingga banyak brand lokal bermunculan dengan harga yang lebih terjangkau dan tidak kalah trendi menyaingi kepopularitasan brand fesyen cepat ini.
Apakah brand lokal ini dikategorikan dalam brand fesyen cepat? Butuh peninjauan yang lebih lanjut dan holistik untuk mengkategorikan hal ini. Namun jika ditinjau dari laju produksi, brand lokal Indonesia banyak yang mengimplementasikan proses produksi yang cepat dengan jumlah yang masif (dalam level nasional, bukan global seperti brand fesyen cepat). Jumlah koleksi yang dikeluarkan bisa dalam hitungan minggu saja. Bagaimana proses produksinya bertanggung jawabkah bagi lingkungan? Mensejahterakan manusia yang bekerja di dalamnyakah? Belum ada juga studi lanjut mengenai hal ini namun beberapa bukti seperti pencemaran sungai yang terjadi di Bandung (salah satu kota produsen banyak brand fesyen) sudah terjadi.
Konsumerisme dan Limbah Tekstil
Dari segi konsumen, dampak yang paling nyata terlihat adalah perubahan gaya hidup menjadi lebih konsumtif. Tren fesyen yang silih berganti, koleksi baru yang selalu muncul di pasaran membuat manusia tanpa sadar merasa ketinggalan tren jika tidak membeli koleksi terbaru dan melupakan bahwa sebenarnya pakaian yang dimiliki sudah lebih dari yang dibutuhkan dan hanya teronggok di lemari dan berpotensi menjadi sampah apabila tidak dikelola dengan baik dan melupakan jejak karbonnya yang sangat merusak.
Di Indonesia terlebih lagi yang masih belum memiliki manajemen sampah tekstil yg ideal sehingga sampah tekstil dapat berakhir tanpa pengolahan di TPA dan di laut.
Fast fashion isn’t free. Someone, somewhere, is paying.
-Lucy Siegle